CEO ICDX Group Nursalam mengungkapkan, tantangan pada bursa CPO bukan pada hal teknis, melainkan kolaborasi para perusahaan. Secara teknis, ia menyebut persiapan ICDX sudah baik lantaran pihaknya telah meluncurkan kontrak CPO pada Mei 2010 sebagai sarana hedging bagi pelaku pasar CPO Indonesia.
Ia berharap dengan pembentukan bursa CPO ini, patokan ekspor Indonesia berasal dari bursa CPO. Maklum, sejak Juli 2013 harga settlement kontrak CPO ICDX telah digunakan dalam formula penetapan harga patokan ekspor (HPE) dengan pembobotan sebesar 60%, dan sisanya BMD 20% & CIF Rotterdam 20%.
Baca Juga:
Yuk Hitung Dampak Sentimen Bursa CPO Terhadap Kinerja Emiten CPO
Untuk bursa CPO, mekanisme transaksi dimulai dari jaminan transaksi atau jaminan dari penjual dan pembeli berupa cash atau surat berharga yang belum diserahkan ke Lembaga Kliring sebelum bertransaksi. Setelahnya berlanjut pada bid & offer, yang mana permintaan pembeli terdiri dari harga dan jumlah lot.
"Tiap 1 lot berisikan 25 ton CPO dengan tick size Rp 5 per kilogram," terangnya.
Setelahnya berlanjut pada trade allocation atau konfirmasi transaksi sebagai bukti ada transaksi yang sepadan, yang diterbitkan pada saat penutupan pasar atau T+0. Selanjutnya pembayaran yang dilakukan paling lambat T+2.
Baca Juga:
Ternyata, Ini Manfaat Bursa CPO bagi Petani Sawit
Lalu penyerahan CPO yang dilakukan T+15 dengan mutu CPO yang harus diserahkan oleh penjual, yakni FFA maksimal 5% dan Moisture & Impurities (M&I) maksimal 0,5%. Baru kemudian berita acara serah terima (BAST) dan terakhir pembayaran oleh lembaga kliring.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap, dengan diresmikannya bursa CPO maka Indonesia bisa menjadi penentu pembentukan harga acuan CPO.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan, yang diharapkan dari bursa ini adanya transparansi sehingga harga yang terbentuk riil. Sedangkan untuk harga yang terbentuk tetap tergantung dengan supply dan demand serta harga minyak nabati dunia.