Perpu ini memberikan izin bagi 13 perusahaan tambang—dari 22 perusahaan—untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Alasannya, 13 perusahaan itu memiliki cadangan tambang yang jelas dan memenuhi syarat keekonomian.
Perpu Nomor 1/2004 menambah ketentuan baru pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU 41/1999 berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.
Baca Juga:
Pemkab Tangerang Dukung Pengembangan Budidaya Hidroponik untuk Ketahanan Pangan Daerah
Perpu ini sebenarnya tidak perlu terbit apabila izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) clear and clean tata kelolanya. Praktiknya, banyak penyimpangan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan.
Pemerintah daerah banyak memberikan rekomendasi pertimbangan teknis dan lemahnya pengawasan pemerintah pusat, dalam ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Setelah UU Cipta Kerja bidang kehutanan tahun 2020, izin pinjam pakai kawasan hutan tak perlu lagi persetujuan DPR. Ini menandakan kontrol dan kuasa penuh dalam izin pinjam pakai kawasan hutan berada di tangan pemerintah, yakni Menteri LHK.
Baca Juga:
Kasus TPPU Duta Palma, Kejagung Kembali Sita Rp372 Miliar
Dengan tidak adanya fungsi pengawasan DPR sangat berbahaya bagi kelestarian kawasan hutan di Indonesia.
Para politisi mengkritik pemerintah di titik ini karena mereka menganggap pertimbangan ekonomi lebih dominan dibanding lingkungan.
Soalnya, PP 105 Tahun 2015 menyebutkan bahwa aktivitas nonkehutanan selain harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga wajib menyerahkan lahan kompensasi. Untuk pertambangan, lahan kompensasinya dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai.