Dalam PP 23/2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan: sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.
Ketua Komisi IV bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan DPR RI menilai PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.
Baca Juga:
Pemkab Tangerang Dukung Pengembangan Budidaya Hidroponik untuk Ketahanan Pangan Daerah
Menurut dia, penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari.
Karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk keperluan lain harus diperjelas dan dipertegas, bahkan dihentikan karena alih fungsi hutan lindung dalam skala luas akan mengancam kelestarian kawasan hutan.
Pemulihan kawasan hutan lindung, termasuk rehabilitasi dan revegetasinya, tidak semudah di hutan produksi. Oleh karena itu, pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk masa yang akan datang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.
Baca Juga:
Kasus TPPU Duta Palma, Kejagung Kembali Sita Rp372 Miliar
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, sebanyak 29,6 juta hektare di antaranya adalah hutan lindung.
Dari 29,6 juta hektare hutan lindung tersebut, 5,6 juta hektare di antaranya termasuk hutan lindung yang telah rusak dalam artian hutan lindung yang tidak lagi mempunyai tutupan hutannya (non forested) akibat berbagai faktor, salah satunya IPPKH untuk pertambangan.
Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020 yang dirilis akun Instagram resminya dan dilansir Kompas.com, Minggu (31/1/2021), baik IPPKH maupun pelepasan hutan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.