Riau.WahanaNews.co - Salah satu pasal kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41/1999 tentang kehutanan adalah penggunaan kawasan hutan yang diatur dalam pasal 38.
Pasal ini mengizinkan pemakaian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di hutan produksi dan hutan lindung. Juga pemakaian hutan untuk pertambangan melalui skema izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Baca Juga:
Pemkab Tangerang Dukung Pengembangan Budidaya Hidroponik untuk Ketahanan Pangan Daerah
Pemerintah Aceh menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan izin pemakaian hutan untuk pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Jantho (Aceh Besar) – Lamno (Aceh Jaya) sehingga tahun depan proyek bisa dilanjutkan lagi untuk tujuh kilometer ruas jalan.
Penggunaan hutan lindung untuk pembangunan jalan sudah barang tentu menggunakan mekanisme IPPKH.
Pada masa lalu, meskipun ada penjelasan bahwa pembangunan di luar kepentingan kehutanan mesti selektif, larangan alih fungsi hutan, penambangan terbuka mesti persetujuan DPR. Skema izin pinjam pakai kawasan hutan ini belum mampu menjamin penyimpangan.
Baca Juga:
Kasus TPPU Duta Palma, Kejagung Kembali Sita Rp372 Miliar
Skema pinjam pakai kawasan hutan justru menjadi pintu masuk alih fungsi hutan. Setelah UU Cipta Kerja disahkan, skema pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan nonkehutanan berlanjut dan lebih mengkhawatirkan.
Berikut ini analisis beberapa dampaknya:
Pada 11 Maret 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kehutanan Nomor 1/2004 untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan di hutan lindung.
Perpu ini memberikan izin bagi 13 perusahaan tambang—dari 22 perusahaan—untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Alasannya, 13 perusahaan itu memiliki cadangan tambang yang jelas dan memenuhi syarat keekonomian.
Perpu Nomor 1/2004 menambah ketentuan baru pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum UU 41/1999 berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.
Perpu ini sebenarnya tidak perlu terbit apabila izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) clear and clean tata kelolanya. Praktiknya, banyak penyimpangan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan.
Pemerintah daerah banyak memberikan rekomendasi pertimbangan teknis dan lemahnya pengawasan pemerintah pusat, dalam ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Setelah UU Cipta Kerja bidang kehutanan tahun 2020, izin pinjam pakai kawasan hutan tak perlu lagi persetujuan DPR. Ini menandakan kontrol dan kuasa penuh dalam izin pinjam pakai kawasan hutan berada di tangan pemerintah, yakni Menteri LHK.
Dengan tidak adanya fungsi pengawasan DPR sangat berbahaya bagi kelestarian kawasan hutan di Indonesia.
Para politisi mengkritik pemerintah di titik ini karena mereka menganggap pertimbangan ekonomi lebih dominan dibanding lingkungan.
Soalnya, PP 105 Tahun 2015 menyebutkan bahwa aktivitas nonkehutanan selain harus punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) juga wajib menyerahkan lahan kompensasi. Untuk pertambangan, lahan kompensasinya dua kali lipat dari luas lahan pinjam pakai.
Dalam PP 23/2021, IPPKH diubah menjadi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Di aturan baru ini, pengusaha diberi pilihan: sediakan lahan kompensasi atau bayar PNBP kompensasi plus PNBP penggunaan kawasan hutan.
Ketua Komisi IV bidang pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan DPR RI menilai PNBP kompensasi mengancam kelestarian dan keberadaan hutan serta merugikan negara dan masyarakat.
Menurut dia, penetapan nilai PNBP Kompensasi harus memperhatikan nilai ekonomi hutan dan jasa lingkungannya serta menjamin hutan tetap lestari.
Karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk keperluan lain harus diperjelas dan dipertegas, bahkan dihentikan karena alih fungsi hutan lindung dalam skala luas akan mengancam kelestarian kawasan hutan.
Pemulihan kawasan hutan lindung, termasuk rehabilitasi dan revegetasinya, tidak semudah di hutan produksi. Oleh karena itu, pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk masa yang akan datang harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.
Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,3 juta hektare, sebanyak 29,6 juta hektare di antaranya adalah hutan lindung.
Dari 29,6 juta hektare hutan lindung tersebut, 5,6 juta hektare di antaranya termasuk hutan lindung yang telah rusak dalam artian hutan lindung yang tidak lagi mempunyai tutupan hutannya (non forested) akibat berbagai faktor, salah satunya IPPKH untuk pertambangan.
Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode tahun 1984-2020 yang dirilis akun Instagram resminya dan dilansir Kompas.com, Minggu (31/1/2021), baik IPPKH maupun pelepasan hutan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Era Presiden Soeharto sepanjang 1984 sampai 1998, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, yakni seluas 66.251 hektare (ha). Rinciannya 53.010 ha untuk peruntukan tambang dan non-tambang seluas 13.241 ha.
Kemudian pada 1998-1999 atau era Presiden BJ Habibie, jumlah IPPKH yang diterbitkan, yakni seluas 22.126 ha dengan rincian 21.196 ha untuk kebutuhan tambang dan 930 ha untuk non-tambang.
Era Presiden Abdurrahman Wahid, jumlah IPPKH yang dikeluarkan pemerintah, yakni seluas 33.539 ha yang meliputi 32.110 ha sebagai peruntukan tambang 1.429 ha sebagai area non-tambang.
Saat Presiden Megawati Soekarnoputri, luasan IPPKH menurun, yakni seluas 13.701 ha dengan rincian 1.473 ha sebagai area tambang dan 12.228 ha sebagai area non-tambang.
Jumlah IPPKH melonjak di dua periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono ( SBY) dengan luas mencapai 322.169 ha yang meliputi peruntukan tambang 305.070 ha dan 17.097 ha sebagai kawasan non-tambang atau terbesar dibanding 5 Presiden Indonesia lainnya.
Terakhir era Presiden Joko Widodo, jumlah IPPKH yang diterbitkan pemerintah, yakni seluas 131.516 ha dengan rincian 117.106 ha untuk area tambang dan 14.410 ha untuk kawasan non-tambang.
Berikut rincian penerbitan IPPKH per periode pemerintahan dari tahun 1984-2020:
- Soeharto (1984-1998): 66.251 ha
- BJ Habibie (1998-1999): 22.126 ha
- Abdurrahman Wahid (1999-2001): 33.539 ha
- Megawati Soekarnoputri (2001-2004): 13.701 ha
- Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014): 322.167 ha
- Joko Widodo (2014-2020): 131.516 ha
[Redaktur: Mega Puspita]