Gulat menjelaskan saat harga CPO mencapai Rp11.800 per kg bulan lalu harusnya TBS petani Rp2.800 atau Rp3.200/kg.
”Tetapi, TBS petani hanya dihargai Rp1.800-2.250/kg. Nah hari ini harga CPO KPBN Rp10.650/kg. Bisa Bapak Ibu Bayangkan berapa lagi harga yang kami terima," imbuhnya
Baca Juga:
Yuk Hitung Dampak Sentimen Bursa CPO Terhadap Kinerja Emiten CPO
“Kami tidak menuntut harga tinggi, tapi berilah hak kami dengan harga sebenar-benarnya. Kami juga gak menyalahkan KPBN, tapi pabrik sawit tanpa kebun akan menggunakan harga CPO KPBN secara harian terkhusus TBS petani non mitra. Kenapa pabrik membeli TBS kami cuma Rp1.800 padahal [ketetapan] di Disbun Rp2.500? ini akan semakin membaik dengan Bursa CPO tadi dan tentunya dengan revisi Permentan 01 tahun 2018, kalau tidak maka akan menimbulkan kegaduhan baru,” sambung Gulat.
Di samping harga murah, dia mengungkapkan, petani sawit pun produktivitasnya anjlok. Pasalnya, petani tidak melakukan dengan benar pupuk dan pemupukan selama 1,5 tahun laku lantaran harga TBS terus di bawah HPP dan pupuk yang harganya melambung naik sampai 300%.
Saat memang harga pupuk sudah turun tapi dampak produktivitasnya akan memuncak pertengahan 2024 nanti.
Baca Juga:
Emiten PBSA Dicecar BEI Diduga Jual Perusahaan Limbah Sawit ke Shell
Oleh karenanya, Gulat berharap agar Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko untuk persuasif mengajak pelaku usaha sawit untuk bertransaksi di bursa CPO.
Menurutnya, pemerintah jangan ragu-ragu dalam pembentukan bursa tersebut dan bisa saja pemerintah bertindak affirmative action jika masih sepi bursa tersebut.
“Memang tidak ada dimuka bumi ini ikut bursa dengan cara dipaksa, tapi sudah sewajarnya Indonesia memiliki harga rujukan berstandart internasional (global). Tapi kalau masih sepi, bisa juga dengan cubit-cubit sikit,” lanjut Gulat.