"Petani enggak punya kemampuan untuk itu. Data itu enggak ada dan siapa yang akan memfasilitasi ini pun enggak ada hingga di tingkat kabupaten," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan kelembagaan penyelesaian ini terpusat di nasional. Sementara di daerah belum ada tim yang memastikan pemetaan serta verifikasi inventarisasi kebun-kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan. Ditambah belum ada petunjuk teknis untuk menyiapkan infrastruktur, yang menghubungkan penyelesaian dari masyarakat yang belum terpetakan ke tim satgas.
Baca Juga:
Bupati Tolitoli Amran Hi Yahya Ajak Masyarakat Tingkatkan Produktivitas Kelapa Sawit
Karena beberapa hal tersebut, ia meyakini skema penyelesaian dalam PP Nomor 24 Tahun 2021 itu sulit dioperasionalkan untuk sawit rakyat. Demikian juga strategi penataan kawasan hutan dalam PP Nomor 23 khususnya kebun sawit rakyat dibawah 5 hektar.
"Problemnya sama. Akan sulit dioperasionalkan untuk sawit rakyat," ucap Andy.
Dengan demikian, menurut Andy, seharusnya pada tahap awal pemerintah fokus melakukan pendataan secara keseluruhan di lapangan. Penyelesaiannya harus dilakukan di daerah agar lebih efektif dan lebih proaktif, mulai dari pelaksanaan pemetaan, inventarisasi dan verifikasi.
Baca Juga:
Di WTO, RI Berhasil Buktikan Tindakan Diskriminasi Uni Eropa atas Minyak Sawit dan Biofuel Berbahan Baku Kelapa Sawit
"Sehingga penanganan untuk sawit rakyat dapat berbeda dengan gerbong perusahaan," ujarnya.
Adapun rencana pemerintah ini pun telah digugat oleh Sawit Watch dan Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) ke Mahkamah Agung pada Rabu, 20 September kemarin.
Musababnya, rencana itu dinilai telah mengabaikan proses penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi administratif dan mengabaikan proses pidana.