Dalam industri kelapa sawit, tingginya angka TBS sortiran lazim dipahami sebagai indikator serius terhadap mutu panen dan efektivitas manajemen lapangan. Penyebabnya pun bukan rahasia: buah dipanen belum matang atau terlalu matang, proses panen tidak sesuai SOP, peralatan yang tidak memadai, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum terlatih secara optimal.
Jika kondisi ini terjadi secara berulang dan dalam volume besar, maka persoalan tersebut tidak lagi dapat dipersempit sebagai kesalahan pekerja lapangan semata.
Baca Juga:
Diduga Mark Up Dana BOS, Pengelolaan Honor di SDN 003 Pasir Bongkal Jadi Sorotan
Secara struktural, tanggung jawab tertinggi pengendalian mutu panen berada pada manajemen kebun, mulai dari perencanaan panen, pengawasan mandor, kesiapan alat, hingga pembinaan tenaga pemanen. Dalam konteks ini, peran manajerial seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah kerugian akibat sortiran, bukan sekadar bereaksi setelah kerugian terjadi.
Ironisnya, di tengah kondisi PTPN yang selama ini kerap dikabarkan mengalami kerugian, praktik pembiaran terhadap potensi kehilangan hasil (losses) justru tampak berulang.
TBS sortiran sejatinya bukan hanya persoalan teknis, tetapi berpotensi menjadi kerugian ekonomi. Buah yang ditolak pabrik berarti nilai jual menurun, biaya tambahan penanganan, serta potensi pembusukan yang berujung pada kehilangan total.
Baca Juga:
Polres Inhu Diminta Usut Tuntas Lakalantas Truck di Japura Mengakibatkan Supir 1 Meninggal dan Supir 2 Melarikan Diri, Diduga Unsur Kesengajaan
Pertanyaannya, berapa nilai kerugian yang sudah terjadi akibat lemahnya kontrol kualitas ini? Dan yang lebih penting, mengapa persoalan ini seolah tidak pernah dituntaskan hingga ke akar?
Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Sugiarto selaku Asisten Manager PTPN IV Air Molek menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan.
"Coba saya cek dulu, Pak,” ujarnya singkat, Sabtu (14/12/2025).