RIAU.WAHANANEWS.CO, Indagiri Hulu –
Dugaan lemahnya manajemen pengelolaan hasil panen kelapa sawit kembali mencuat di tubuh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Air molek. Fakta di lapangan memperlihatkan tumpukan Tandan Buah Segar (TBS) hasil sortiran pabrik yang menumpuk di sekitar area kebun, bahkan hingga dekat pos keamanan.
Baca Juga:
Diduga Mark Up Dana BOS, Pengelolaan Honor di SDN 003 Pasir Bongkal Jadi Sorotan
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius: apakah persoalan ini sekadar faktor teknis, atau cerminan kegagalan manajerial yang lebih sistemik?
Pantauan di lapangan menunjukkan jumlah TBS sortiran terbilang signifikan. Seorang petugas keamanan yang ditemui di sekitar lokasi mengungkapkan bahwa TBS tersebut bukanlah buah sisa panen biasa, melainkan buah yang dikembalikan oleh pabrik pengolahan karena tidak memenuhi standar kualitas.
"Hasil produksi buah di sini tidak masuk ke pabrik PTPN, tapi ke pabrik PT SMJL( Sawit Jaya Mandiri Lestari)
Baca Juga:
Polres Inhu Diminta Usut Tuntas Lakalantas Truck di Japura Mengakibatkan Supir 1 Meninggal dan Supir 2 Melarikan Diri, Diduga Unsur Kesengajaan
Di Desa selabau. Jadi buah yang ada ini merupakan hasil sortiran dari pabrik. Ada sekian persen yang dikembalikan,” ujar petugas keamanan yang tengah berjaga, Rabu (10/12/2025).
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa volume buah sortiran bukan jumlah kecil.
"Dalam satu minggu, rata-rata buah sortiran dari pabrik bisa mencapai sekitar 8 ton. Padahal, dalam sehari produksi TBS bisa mencapai kurang lebih 200 ton,” jelasnya.
Dalam industri kelapa sawit, tingginya angka TBS sortiran lazim dipahami sebagai indikator serius terhadap mutu panen dan efektivitas manajemen lapangan. Penyebabnya pun bukan rahasia: buah dipanen belum matang atau terlalu matang, proses panen tidak sesuai SOP, peralatan yang tidak memadai, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum terlatih secara optimal.
Jika kondisi ini terjadi secara berulang dan dalam volume besar, maka persoalan tersebut tidak lagi dapat dipersempit sebagai kesalahan pekerja lapangan semata.
Secara struktural, tanggung jawab tertinggi pengendalian mutu panen berada pada manajemen kebun, mulai dari perencanaan panen, pengawasan mandor, kesiapan alat, hingga pembinaan tenaga pemanen. Dalam konteks ini, peran manajerial seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah kerugian akibat sortiran, bukan sekadar bereaksi setelah kerugian terjadi.
Ironisnya, di tengah kondisi PTPN yang selama ini kerap dikabarkan mengalami kerugian, praktik pembiaran terhadap potensi kehilangan hasil (losses) justru tampak berulang.
TBS sortiran sejatinya bukan hanya persoalan teknis, tetapi berpotensi menjadi kerugian ekonomi. Buah yang ditolak pabrik berarti nilai jual menurun, biaya tambahan penanganan, serta potensi pembusukan yang berujung pada kehilangan total.
Pertanyaannya, berapa nilai kerugian yang sudah terjadi akibat lemahnya kontrol kualitas ini? Dan yang lebih penting, mengapa persoalan ini seolah tidak pernah dituntaskan hingga ke akar?
Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Sugiarto selaku Asisten Manager PTPN IV Air Molek menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan.
"Coba saya cek dulu, Pak,” ujarnya singkat, Sabtu (14/12/2025).
Pernyataan tersebut menjadi satu-satunya respons resmi sejauh ini. Namun publik tentu berharap lebih dari sekadar “pengecekan”. Transparansi, evaluasi menyeluruh, serta langkah korektif nyata menjadi tuntutan yang tidak bisa lagi ditunda.
Fenomena tumpukan TBS sortiran bukanlah isu sepele. Ia merupakan alarm keras bagi tata kelola BUMN perkebunan, terlebih di tengah tuntutan efisiensi, profesionalisme, dan akuntabilitas pengelolaan aset negara.
Manajemen PTPN dituntut untuk berhenti berlindung di balik alasan teknis, dan mulai menjawab pertanyaan mendasar:
apakah sistem pengawasan berjalan, apakah SDM dibina dengan benar, dan apakah target produksi dikejar dengan mengorbankan mutu?
Jika persoalan mendasar ini terus diabaikan, maka kerugian demi kerugian bukanlah nasib, melainkan buah dari kegagalan manajemen itu sendiri.
[Redaktur: Adi Riswanto]