RIAU.WAHANANEWS.co, Rokan Hilir – Salah satu dokumen resmi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Kubu, Kepenghuluan Sungai Pinang, memicu kecurigaan publik terkait keabsahan surat kepemilikan tanah yang dijadikan dasar transaksi jual beli lahan di wilayah tersebut.
Dalam dokumen bernomor 60/SKRPT/2009, tertanggal 20 Februari 2009, tercantum nama Nur Afdia Wulan Lestari, seorang perempuan remaja berusia 19 tahun yang masih berstatus pelajar dinyatakan sebagai penggarap dan pemilik lahan seluas 20.000 m² di KM 26, RT 03 RW 04, Dusun Mekar Jaya, Kepenghuluan Sungai Pinang.
Baca Juga:
Pererat Silaturahmi, Cindy Rahmadani Gelar Acara Halalbihalal
Kejanggalan muncul karena usia pemegang surat tersebut tergolong sangat muda dan tidak juga tidak tercantum nomor KTP dalam surat untuk memiliki dan menggarap tanah secara legal pada saat itu.
Lebih mencurigakan lagi, dokumen ini digunakan sebagai surat dasar dalam transaksi jual beli lahan kepada Cornelius Tarigan. Hingga sejumlah pihak mempertanyakan validitas dan keabsahan dokumen, serta dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam proses penerbitan surat baru tersebut.
Penghulu Sungai Pinang, Hidayatullah, saat ditemui Wahana News di kantornya, Senin (21/4/2025), mengungkapkan bahwa ia telah mempelajari beberapa dokumen dasar sebagai justifikasi penerbitan surat baru atas nama pembeli yang kini menguasai lahan tersebut. Ia menyatakan bahwa surat-surat tersebut dijadikan acuan dalam proses balik nama kepemilikan tanah, meskipun kontroversi terus bergulir.
Baca Juga:
Ada apa Dengan APH di Rokan Hilir, Rokok Ilegal Beredar Bebas Seolah Tanpa Hambatan
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai integritas aparat desa dan mekanisme administrasi pertanahan di wilayah Rokan Hilir. Jika terbukti terdapat unsur rekayasa, maka hal ini dapat melanggar ketentuan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya mengenai asas kejelasan subjek dan objek hak atas tanah.
Selain itu, penerbitan dokumen kepemilikan yang dinilai janggel dengan usia si penggarap menimbulkan potensi adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan surat tanah tersebut, yang berindikasi mengarah pada pelanggaran tindak pidana korupsi. Pasal 3 dan 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini perlu mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum, baik di tingkat daerah maupun pusat, guna menjamin kepastian hukum, mencegah praktik mafia tanah, serta menegakkan prinsip tata kelola pemerintahan desa yang bersih dan akuntabel.
Redaktur: Sah Siandi Lubis