Diketahui, Kantor berita Deutsche Welle melaporkan bahwa Uni Eropa mengimpor minyak kelapa sawit dan produk minyak kelapa sawit senilai 6,3 miliar euro (sekitar US$ 6,9 miliar) pada tahun 2021, sebagian besar digunakan untuk bahan bakar nabati. Indonesia dan Malaysia masing-masing berkontribusi 44% dan 25,2% dari impor tersebut.
Tahun 2022, WTO memutuskan untuk memenangkan Uni Eropa dalam sengketa atas larangan ekspor nikel yang belum diolah oleh Indonesia. Indonesia lantas segera mengajukan banding, yang masih harus ditinjau hingga hari ini karena kurangnya kelengkapan badan banding yang berfungsi.
Baca Juga:
Paslon Ahmad Rizal Ajukan Sengketa ke Bawaslu Labura Atas Putusan TMS KPUD
Di tengah-tengah tuntutan hukum WTO tersebut, Indonesia telah berusaha untuk menyelesaikan kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa sejak tahun 2016.
“Sengketa dan perjanjian dagang adalah dua hal yang berbeda,” ujar Jerry seraya menambahkan bahwa tuntutan hukum tersebut "tidak berdampak" pada negosiasi.
Kedua belah pihak bertujuan untuk menyelesaikan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) yang sudah lama tertunda pada tahun 2024.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
Adapun Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan untuk Pakta Perdagangan Internasional, Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, putaran ke-17 dari perundingan ini dijadwalkan akan berlangsung bulan depan.
“Putaran berikutnya sekitar bulan Februari, tetapi pembicaraan seperti itu membutuhkan waktu. Kami berharap kami dapat menyelesaikannya tahun ini,” pungkas Djatmiko.
[Redaktur: Mega Puspita]