Riau.WahanaNews.co - Negara Indonesia yang merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, yakin akan memenangkan gugatan terhadap Uni Eropa (UE).
Meski begitu, perselisihan yang tengah berlangsung ini tidak akan mempengaruhi negosiasi pakta perdagangan yang sudah lama ditunggu-tunggu dengan blok yang beranggotakan 27 negara tersebut.
Baca Juga:
Paslon Ahmad Rizal Ajukan Sengketa ke Bawaslu Labura Atas Putusan TMS KPUD
Menengok ke belakang pada tahun 2019, Indonesia mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap Uni Eropa. Gugatan ini mengklaim bahwa Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) II dari blok tersebut bersifat diskriminatif.
RED II menyatakan bahwa, Uni Eropa akan menghentikan penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit pada tahun 2030, termasuk menyatakan bahwa produk tersebut berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC).
Uni Eropa menuduh produksi bahan bakar nabati dapat dilakukan di lahan pertanian yang sebelumnya diperuntukkan bagi tanaman pangan.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
Hal itu dapat menyebabkan para petani memperluas produksi lahan pertanian ke daerah-daerah yang memiliki cadangan karbon yang tinggi seperti hutan, yang berpotensi meniadakan penghematan emisi dari penggunaan bahan bakar nabati.
Adapun bahan bakar nabati dapat dikecualikan dari batasan-batasan tersebut jika minyak kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berisiko rendah terhadap ILUC. Meskipun panel WTO belum mengeluarkan laporan mengenai gugatan biofuel kelapa sawit ini, Indonesia memiliki harapan yang tinggi untuk meraih kemenangan.
“Kami ada beberapa perselisihan dengan Uni Eropa di WTO. DS592 adalah mengenai nikel, sementara DS593 mengenai minyak sawit. Kami yakin akan memenangkan sengketa soal sawit. Tunggu saja,” kata Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga kepada awak media di Jakarta, dikutip Minggu (7/1/2024).