Riau.WahanaNews.co - Salah satu sektor yang paling terdampak dengan adanya perubahan iklim adalah pertanian.
Perubahan iklim menghadirkan tantangan baru bagi sektor pertanian yang berdampak luas dan signifikan.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, dan fenomena iklim ekstrem (banjir dan kekeringan) memicu kekhawatiran akan keberlanjutan produksi dan ketahanan pangan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia (Surmaini, dkk, 2011).
Perubahan iklim merupakan proses alami yang memiliki kecenderungan secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Seiring dengan pergeseran pola iklim, perubahan persebaran organisme pengganggu tumbuhan (OPT) juga memiliki dampak negatif terhadap pertanian.
Dahulu, upaya pengendalian OPT cenderung menggunakan pestisida dengan bahan kimia sintetis karena hasilnya yang cepat dan efisien.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Namun, penggunaan pestisida kimia sintetis yang kurang bijaksana menimbulkan masalah baru seperti resistensi dan resurjensi OPT serta residu pestisida yang berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan di kemudian hari.
Pola pikir masyarakat yang semakin progresif membuat masyarakat menaruh perhatian terhadap pangan yang aman dikonsumsi.
Menilik berbagai hal tersebut, Indonesia berupaya untuk menjawab tantangan global di bidang pertanian melalui salah satu program dari Nawacita yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Penerapan kegiatan yang dapat mendukung dalam menjawab tantangan global tersebut, salah satunya adalah desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan.
Sesuai arahan Presiden, kegiatan ini telah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2016. Kegiatan desa pertanian organik mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 6729:2016 tentang sistem pertanian organik dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2019 tentang sistem budi daya pertanian berkelanjutan.
Pertanian organik merupakan sistem budi daya dan manajemen produksi pertanian yang mendorong serta meningkatkan kesehatan agroekosistem yang didalamnya termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis, dan aktivitas biologis tanah.
Pertanian organik tidak hanya sebagai sistem produksi pertanian, namun juga sebagai sebuah pendekatan sistemik dan komprehensif terhadap penghidupan berkelanjutan secara umum pada tingkat fisik, ekonomi, atau sosial budaya.
Selain itu, pertanian organik memiliki potensi kuat untuk membangun ketahanan dalam menghadapi iklim yang cenderung berubah-ubah (Eyhorn, 2007; Wani, dkk, 2013).
Pada periode awal penerapan kegiatan desa pertanian organik (tahun 2016-2019), Direktorat Jenderal Perkebunan telah membina sekitar 160 kelompok tani komoditas perkebunan dari seluruh wilayah Indonesia.
Tiap kelompok tani yang mengikuti program desa pertanian organik diberikan bantuan pengungkit berupa ternak ruminansia kecil/besar, kandang ternak, rumah kompos, dan lain-lain.
Bantuan tersebut diberikan sebagai pemicu dalam rangka menjadikan kelompok tani mandiri dalam penyediaan input produksi di kebunnya.
Manfaat yang diperoleh kelompok tani dalam penyediaan input produksi secara mandiri, salah satunya adalah mengurangi ketergantungan pupuk yang diperoleh dari luar ekosistem kebun.
Kelompok tani memanfaatkan kotoran yang dihasilkan oleh ternak dan sisa-sisa pangkasan tanaman menjadi pupuk organik dengan metode pengolahan kompos.
Pengomposan memiliki potensi dalam pengurangan emisi GRK dari bidang pertanian walaupun dampak keseluruhan yang ditimbulkan masih tergolong relatif kecil.
Meskipun begitu, pengomposan memiliki beberapa kelebihan dalam mengatasi sejumlah masalah lingkungan lainnya seperti kualitas air permukaan dan air tanah, emisi amonia, dan patogen.
Sehingga, pengomposan dapat menjadi salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi emisi GRK dan masalah lingkungan lainnya (Paul, dkk, 2001).
Desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan memiliki beberapa tahapan kegiatan yang terbagi dalam lima tahun secara berkelanjutan.
Kegiatan dimulai dengan menetapkan calon kelompok tani yang diusulkan oleh dinas provinsi yang membidangi perkebunan kepada Kementerian Pertanian sebagai peserta.
Setelah peserta ditetapkan, kemudian kelompok tani akan diberikan bantuan input produksi dan pendampingan tentang sistem pertanian organik oleh penyuluh di tingkat kabupaten dan provinsi.
Pendampingan akan dilakukan secara berkala hingga tahap akhir kegiatan di tahun kelima. Pada tahun kedua akan diberikan pelatihan mengenai Good Agricultural Practice (GAP) juga pelatihan pembuatan bahan pengendali OPT dan kompos (pemanfaatan input produksi).
Tahapan kegiatan pada tahun ketiga, yaitu pelatihan pendampingan, dan pre-assessment. Dalam pelatihan ini, kelompok tani akan diberikan pengetahuan serta simulasi mengenai sistem kendali internal (ICS) pada kelembagaan pertanian organik dan audit internal yang mengacu pada SNI 6729:2016.
Pada tahun keempat kelompok tani yang sudah siap akan dilakukan sertifikasi organik SNI dan/atau regional dunia tergantung target pasar yang akan dituju. Selain melaksanakan sertifikasi, kelompok tani juga diberikan pelatihan mengenai utilisasi dan pemasaran produk. Kelompok tani juga akan diberikan dukungan promosi dan pemasaran yang bekerja sama dengan dinas yang membidangi perdagangan dan dinas yang membidangi perindustrian setempat.
Umumnya, sertifikat organik SNI berlaku selama dua tahun dan sertifikat organik regional dunia berlaku selama satu tahun sehingga, setelah dilakukan sertifikasi akan dilakukan surveilens sertifikasi jika masa berlaku sertifikat yang diperoleh akan berakhir. Surveilens biasanya akan dilaksanakan pada tahap akhir/tahun kelima kegiatan.
Kelompok tani yang dibina telah disertifikasi organik baik sesuai SNI maupun regional dunia. Berbekal sertifikat organik regional dunia yang telah diperoleh, sejak tahun 2019 beberapa kelompok tani telah menginisiasi untuk memasarkan produknya ke beberapa negara di wilayah Asia, Eropa, Australia, dan Amerika secara kontinu.
Selain pembiayaan sertifikasi organik, Direktorat Jenderal Perkebunan juga memfasilitasi uji mutu produk organik yang juga dipasarkan oleh kelompok tani.
Beberapa pengujian yang difasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan diantaranya, yaitu: uji mutu, uji cita rasa, serta uji kandungan glyphosate dan isoprocarb pada komoditi kopi.
Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat lima belas kelompok tani komoditi kopi yang produknya memiliki mutu grade 1 berdasarkan SNI 2907:2018 tentang biji kopi. Mutu grade 1 dideskripsikan dengan jumlah nilai cacat maksimum 11 yang ditentukan oleh beberapa parameter contohnya seperti biji berwarna hitam, biji pecah, biji berlubang, biji masih terdapat kulit kopi dan/atau kulit tanduk serta, terdapat benda asing seperti ranting, tanah, dan kerikil pada sampel biji kopi yang diuji (BSN, 2018).
Lima belas kelompok tani tersebut tersebar di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Untuk uji cita rasa, terdapat tiga puluh kelompok tani yang produknya memiliki nilai cita rasa lebih dari 80. Nilai 80 merupakan nilai minimum untuk dapat dikategorikan sebagai Specialty grade pada laboratorium penguji Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka).
Glyphosate adalah salah satu bahan aktif herbisida yang umum digunakan secara luas dalam bidang pertanian untuk mengendalikan populasi gulma sedangkan, isoprocarb adalah senyawa aktif yang biasanya terdapat pada insektisida.
Berdasarkan komisi Uni Eropa tentang batas maksimum residu (BMR), produk biji kopi yang hendak dipasarkan ke wilayah Uni Eropa harus memenuhi persyaratan BMR pada nilai < 0,1 mg/Kg untuk Glyphosate (European Commission).
Pemerintah Jepang (Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan) memberlakukan hal serupa pada BMR untuk isoprocarb pada nilai < 0,01 mg/Kg untuk komoditi biji kopi yang diekspor ke negaranya (Diyasti, dkk, 2022). Hasil uji kandungan glyphosate dan isoprocarb yang telah dilakukan menunjukkan dari lima belas sampel biji kopi yang diuji, seluruhnya tidak terdeteksi adanya kandungan glyphosate dan isoprocarb masing-masing pada Limit of Detection (LoD) sebesar 0,0097 mg/Kg dan 0,001 mg/Kg.
Melihat hasil beberapa uji yang telah dilakukan menunjukkan keseriusan dan komitmen dari Kementerian Pertanian juga kelompok tani peserta kegiatan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan dalam menyediakan pangan yang aman dikonsumsi masyarakat serta mendukung kelestarian lingkungan.
Oleh sebab itu, keberhasilan yang telah dicapai membuat program ini dilanjutkan kembali pada periode tahun 2020-2024. Pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Perkebunan membina 44 kelompok tani di dua belas provinsi sebagai peserta kegiatan desa pertanian organik.
Dalam beberapa tahun ke depan, kelompok tani komoditas perkebunan yang mengikuti kegiatan desa pertanian organik diharapkan semakin bertambah setiap tahunnya juga mutu produk yang dihasilkan semakin baik agar manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan sekitar semakin terasa.
Artikel ini disadur ulang dari laman Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan.
[Redaktur: Mega Puspita]