Aspek ini menilai sejauh mana produk berbahan kayu dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam hal ini, pemilihan jenis kayu untuk produksi harus disesuaikan dengan jenis produk yang akan dibuat.
Baca Juga:
Pemkab Tangerang Dukung Pengembangan Budidaya Hidroponik untuk Ketahanan Pangan Daerah
Sebagai contoh, jika kayu tersebut mampu memberikan pelayanan lebih lama daripada penggunaannya, maka parameter pelayanan ini menjadi sangat penting.
Dengan demikian, pengelolaan hutan harus dihubungkan dengan pengolahan hasil hutan, termasuk penyesuaian kualitas hasil hutan untuk penggunaan dalam konstruksi dan non konstruksi, serta mempertimbangkan aspek parameter pelayanan.
Pelestarian hutan juga dipengaruhi secara langsung oleh tindakan pembukaan lahan yang tidak bertanggung jawab.
Baca Juga:
Kasus TPPU Duta Palma, Kejagung Kembali Sita Rp372 Miliar
Meskipun produksi hasil hutan banyak dilakukan di hutan produksi, upaya reboisasi atau penanaman kembali masih minim. Dr. Muhammad Zainal Arifin, S.Hut., M.Si., yang merupakan Direktur Konservasi, Tanah, dan Air di Ditjen PDASRH-KLHK, mengungkapkan bahwa kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2020 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi belum mampu mencakup seluruh proses pengelolaan hutan, terutama dalam konteks reklamasi.
“Ini di PP 26 Tahun 2020, turunan undang-undang, bahwa reklamasi itu perencanaannya harus ada rencana umum reklamasi, dan rencana tahunan reklamasi, yang dinilai oleh Kementerian Kehutanan. Ini satu hal yang belum banyak orang yang tahu. Padahal ini penting, karena reklamasi hutan adalah persetujuan untuk penggunaan kawasan hutan. Artinya, hutan yang dengan sengaja kita rusak untuk mengambil sumber daya hutan,” ucap Zainal.
Ia menambahkan, kebijakan saat ini belum mengatur soal penanaman kembali hutan pada kawasan reklamasi. Setelah reklamasi selesai, umumnya kawasan tersebut akan dijadikan waduk untuk menghilangkan senyawa tambang.