Riau.WahanaNews.co - Sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang dikenal sebagai Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) memiliki tingkat kepentingan yang sangat tinggi dalam sektor kelapa sawit Indonesia, baik dalam rantai pasokan hulu maupun hilir.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Pahala Sibuea. Pahala Sibuea berharap ISPO dapat mengatasi salah satu tantangan yang dihadapi, yaitu bagaimana pasar minyak nabati merespons dengan baik terhadap sistem sertifikasi ISPO.
Baca Juga:
Bappebti Pilih Kalbar Jadi Tuan Rumah Literasi Bursa CPO ke-4
"Selain itu, ISPO juga merupakan sebuah kebijakan yang berfokus pada mendorong pertumbuhan budidaya kelapa sawit, yang harus memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kebijakan ini juga merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki pengelolaan industri kelapa sawit di Indonesia," katanya, melansir InfoSAWIT, Minggu (24/9/2023).
Terlebih lagi, sambugnya, saat ini industri kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan baru akibat adopsi kebijakan bebas deforestasi oleh Uni Eropa (EUDR).
Faktanya, perjalanan sertifikasi ISPO tidak mulus seperti apa yang diharapkan sejak terbitnya Perpres 44/2020 dan Permentan 38/2020.
Baca Juga:
Kriteria Sosok Capres di Mata 20 Juta Petani-Bos Sawit
Pahala mengungkapkan, berbagai tantangan dan hambatan tampak di permukaan khususnya dalam tataran implementasi.
"Para pihak pemangku kepentingan pun mengusulkan adanya perubahan terhadap regulasi ISPO di atas, agar ISPO bisa menjawab tantangan penyerapan pasar terhadap Kelapa Sawit Indonesia, hal ini juga yang menjawab seberapa penting sertifikasi ISPO bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit," katanya.
Menurut Pahala, Perpres ISPO yang baru ini terdiri dari 7 Bab dan 31 Pasal, menjadikan dasar kepastian hukum bagi pemangku kepentingan khususnya komite ISPO, Sekretariat ISPO dan pekebun/ petani sawit dalam hal pembiayaan.
"Pembiayaan komite dan Sekretariat ISPO di support oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sedangkan untuk pekebun selain dari BPDPKS, juga dapat bersumber pendanaan dari APBD dan sumber lainnya seperti Dana Bagi Hasil (DBH) yang sudah terbit regulasinya (PMK 91/2023), walaupun tidak tertera dalam Perpres ini,” sebutnya.
Konsultasi publik yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang II Kemenko Perekonomian tentang draft Perpres ISPO, belum lama ini, menunjukan kemandirian Perpres baru tentang ISPO ini, sehingga draft tersebut bukan perubahan tetapi merupakan pengganti Perpres 44/2020.
Perpres ISPO ini mempunyai lingkup hulu dan hilir yaitu Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, Industri Hilir Kelapa Sawit dan Usaha Bioenergi Kelapa Sawit.
Menurut Pahala, POPSI sangat menyambut baik untuk pengantian Perpres ISPO ini, khususnya yang berkaitan dengan Petani dalam segi pembiayaan yang digunakan untuk STDB, Persetujuan Lingkungan, Pelatihan ICS, Pendampingan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO, Seritifikasi dan/ atau penilikan.
Namun, POPSI juga meminta agar menambahkan butir tentang pembiayaan sosialisasi pada Perpres tersebut.
“Lantaran sosialisasi sangat penting dalam mencapai keberhasilan suatu program, apa lagi yang kita hadapi petani swadaya yang tidak dalam satu hamparan, jadi sangat diperlukan sosialisasi ISPO,” pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]