Riau.WahanaNews.co - Tahun 2023 menjadi tahun-tahun yang menguji hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa (UE). Selain terkait nikel, jaringan perdagangan kedua pihak juga harus mendapatkan hambatan terkait undang-undang deforestasi.
Dikutip dari sejumlah di sumber, Rabu (3/1/2024), diketahui bahwa UU bernama "EU Deforestation Regulation/EUDR)" sebenarnya sudah disetujui sejak April namun resmi berlaku 16 Mei 2023. Eropa berdalih UU ini untuk meminimalisir risiko penggundulan hutan.
Baca Juga:
Menteri LHK Soroti Masalah Hutan Indonesia, Mulai dari Karhutla hingga Deforestasi
"UE adalah konsumen dan pedagang besar komoditas dan produk yang memainkan peran penting dalam deforestasi," tulis pernyataan resmi Parlemen Eropa dimuat Europian Council dalam situs resminya dilihat CNBC Indonesia,
"Aturan baru bertujuan untuk memastikan bahwa konsumsi dan perdagangan UE atas komoditas dan produk ini tidak berkontribusi pada deforestasi dan semakin merusak ekosistem hutan," tambahnya.
Sejumlah komoditas yang terpengaruh adalah minyak sawit, sapi, kayu, kopi, kakao, karet hingga kedelai. Aturan tersebut juga berlaku untuk sejumlah produk turunan seperti cokelat, furniture, kertas cetak, dan turunan berbahan dasar minyak sawit lain.
Baca Juga:
Indonesia Jadi Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar Kelima
Dengan pemberlakuan itu, seluruh komoditas andalan RI akan dilarang masuk ke negara anggota UE jika tak lolos uni deforestasi. Perlu diketahui, kecuali daging sapi dan kedelai, produk-produk yang disebut dalam aturan itu merupakan andalan Indonesia di pasar Eropa.
Di neraca perdagangan Indonesia 2022, ekspor minyak sawit dan produk turunannya, termasuk kulit dan produk turunannya, lalu karet, kopi, dan kakao menghasilkan US$ 6,5 miliar. Diketahui sebanyak US$ 3 miliar pendapatan ekspor RI dari total US$ 21 didapat dari minyak sawit dan produk turunannya.
Khusus sawit, Eropa sendiri merupakan importir minyak sawit terbesar ketiga di dunia. Indonesia dan Malaysia, merupakan dua eksportir sawit besar global.
Kedua negara telah menyatakan UU itu adalah upaya sengaja UE memblokir pasar. Malaysia bahkan mengatakan dapat menghentikan ekspor minyak kelapa sawit ke UE sebagai tanggapan atas undang-undang tersebut sementara petani kelapa sawit memperingatkan bahwa mereka tidak dapat memenuhi persyaratannya untuk membuktikan di mana barang diproduksi, menggunakan data geolokasi.
Di sisi lain, Brasil juga mengecam langkah UE. Diketahui, Brasil sendiri adalah pemasok makanan terbesar di dunia, yakni produsen kedelai, kopi, dan daging sapi utama.
"Itu adalah langkah sepihak yang mereka ambil tanpa mendengarkan Brasil," kata Kepala Agribisnis Brasil, ABAG, Luiz Carlos Carvalho.
Sementara, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) menegaskan bahwa Indonesia bakal melawan UU EUDR ini. Menurutnya, aturan ini diskriminatif bagi Indonesia.
Zulhas mengatakan, aturan ini dapat mengganggu perdagangan Indonesia dan bersifat diskriminatif terhadap produk hasil kebun, seperti kopi, lada, coklat, sawit, karet, cengkeh.
"Oleh karena itu kita akan melakukan perlawanan, nanti berunding, perlawanan, tentu mengajak negara-negara yg mempunyai kesamaan seperti Malaysia. Saya kira itu yang barusan rapat terkait kementerian perdagangan," kata Zulhas, di Kompleks Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu.
Selain itu, Zulhas juga mengatakan bakal melakukan perlawanan itu melalui forum IEU - CEPA. Bahkan ia juga menyebut bakal melakukan gugatan jika diperlukan.
"Ya kita bisa melalui IEU - CEPA ini dikecualikan atau kita menggugat," kata Zulhas.
Bak senjata makan tuan, Uni Eropa dinilai bakal terdampak dari kebijakan yang Ia buat sendiri. Pasalnya, Uni Eropa mengkonsumsi produk yang dilarangnya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Eropa sangat menyukai cokelat, baik dalam bentuk padat maupun dalam sajian minuman hangat.
Eropa ini importir biji kakao terbesar di dunia, dengan menguasai sekitar 56% nilai impor secara global. Sebagai perbandingan, Amerika Utara dan Amerika Latin hanya menyumbang sekitar 17% dari impor biji kakao global, sementara benua Asia sebesar 26%.
Di tahun 2022, nilai impor kakao Uni Eropa tercatat mencapai senilai UU$ 7,41 miliar. Meski menurun dibanding tahun sebelumnya, namun angka ini tetap yang paling besar dari negara-negara lain. Tingginya tingkat konsumsi cokelat di kalangan rakyat Eropa tentu jadi daya tarik sendiri bagi produsen dan eksportir kakao Indonesia.
Menariknya, mayoritas justru impor dari berbagai negara. Salah satu pemasok terbesar produk cokelat Uni Eropa adalah Indonesia.
Industri pengolahan kakao yang ada di Indonesia cukup besar. Pabrik cokelat di dunia yang besar ada di Indonesia, Mars, Cargill, Nestle ada di Indonesia.
"Kalau itu (pabrik) ditutup total, bukan hanya Indonesia, Eropa juga akan guncang. Artinya ini jangan-jangan kebijakan ini tidak didesain sedetail itu, jangan-jangan kebijakan ini tidak didesain sedetail itu. Jangan-jangan mereka mereka loose dampak itu," ujar Arif dalam dalam FoodAgri Insight On Location dengan tema "Melawan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa", Selasa (1/8/2023).
Dari sisi komoditas kopi, tentu ini juga punya dampak signifikan. Bagaimana tidak, para eksportir kopi di Indonesia kecewa dengan sikap Uni Eropa yang memberlakukan EUDR). Kebijakan ini berdampak buruk terutama ke petani Indonesia.
Kopi Indonesia 98% dari petani kopi. Dengan adanya UU ini menyebabkan ketidakpastian bagi petani atas penjualan produknya dan ini tentu menjadi masalah yang berat bagi petani kopi sendiri.
Untuk minyak sawit, UU Antideforestasi Uni Eropa itu akan menghantam jutaan petani kecil di Indonesia. Sebab, UU ini mewajibkan uji tuntas, yang menyangkut sejumlah kategori terkait benchmarking risiko tinggi(high risk country).
Seperti diketahui, EUDR mewajibkan penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk.
Ini tentu akan menyulitkan petani. Karena untuk yang 4 hektare (ha) lebih, harus menerapkan geolokasi. Bukan hanya petani, perusahaan juga demikian. Padahal kalau buah tidak tertampung, ini justru bakal menimbulkan gejolak. Akibatnya komoditas ini tidak lagi mengentaskan kemiskinan, tapi menambah kemiskinan.
[Redaktur: Mega Puspita]