WahanaNews-Riau I Praktik mafia pencurian CPO di Dumai, dan beberapa wilayah lainnya telah banyak merugikan daerah.
Menyikapi hal itu pakar Ekonomi Universitas Riau Dr. Hendro Ekwarso MSi, meminta pemimpin daerah seperti Gubernur Riau Syamsuar, Kepala Polda, Komandan Lanal Dumai, Danrem dan pimpinan Bea Cukai harus campur tangan untuk menghentikan praktik mafia pencurian CPO tersebut.
Baca Juga:
Penyelundupan Imigran Rohingya Dibongkar, Polisi: Ada Koordinator
"Praktik pencurian CPO di Riau sudah cukup lama, bahkan makin marak saat pandemi COVID-19 melanda Riau. Sedangkan dampak dari praktik mafia pencurian CPO ini cukup besar. Selain kerugian penerimaan pajak juga citra Indonesia pada perdagangan internasional menjadi buruk karena kualitas CPO tercemar," kata Hendro kepada Antara di Pekanbaru, Senin (25/10/2021).
Dia mencontohkan masih maraknya praktik mafia pencurian minyak sawit mentah (CPO) di Kota Dumai, karena pertama berawal dari kasus simbiosis mutualisme. Artinya, ada pihak yang saling terkait dan membutuhkan satu sama lainn. Tidak mungkin kasus pencurian CPO ini akan berdiri sendiri atau hanya sampai ke tangan sopir saja.
Jika tidak ada penampung CPO ilegal, katanya, lalu sopir mau jual kemana CPO itu? Katakan ada penadah dan jika aparat mau bekerja serius maka penadah bisa ditangkap cukup banyak sekaligus menutup peluang terjadinya pencurian komoditas non migas itu.
Baca Juga:
Kesal karena Galak, 2 ABG Habisi Ibu Dibantu Ayah
"Peluang pencurian CPO ukup besar mulai dari CPO berangkat dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menuju titik kumpul Dumai cukup besar, sebab jarak antar pabrik dengan Pelabuhan Dumai cukup jauh dan waktunya cukup lama. Karena ada ruang, ada jarak, ada kesempatan kemudian ditambah ada dukungan dari pihak lain di luar sopir," katanya.
Ironisnya aparat penegak hukum masih belum serius bekerja. Dan ketika pers ingin mengonfirmasi kasus pencurian CPO ilegal itu, justru terkesan tertutup, ini keliru. Apakah mereka takut salah bicara? Seperti saat ANTARA mengonfirmasi ke Kapolres Dumai dan Danlanal Dumai, terkait apa tindakan mereka ke depan terhadap mafia praktik pencurian CPO itu, justru mereka belum bersedia.
Sebab, dua institusi ini sangat berperan penting apalagi kegiatan mafia pencurian CPO saat lewat menuju tempat pembongkaran di sekitar Sungai Dumai dan di sekitar pantai tidak jauh dari Pos Penjagaan. Mereka bahkan harus melewatinya seperti di sungai tersebut.
Semestinya memang, kata Hendro lagi, pencurian itu tidak terjadi karena sudah dilakukan pengamanan seperti pemberian segel pada kran mobil truk tangki CPO berikut dilengkapi dengan langkah-langkah pengamanan kedua dari pabrik menuju titik kumpul di Dumai.
"Praktik mafia pencurian CPO adalah persoalan cukup serius dan berdampak ganda telah merugikan Indonesia. Contoh dulu kasus CPO dicampur solar, lalu ekspor Riau 'direject' di Eropa dan dibalikkan lagi ke Indonesia. Yang rugi pengusaha sawit juga, penerimaan negara tidak ada, pada akhirnya fatal bagi rakyat dan petani sawit,”
"Jika pasar menolak produksi CPO dari Riau maka akan terjadi kemiskinan massal terhadap 2 juta petani sawit Riau, sehingga perlu ketegasan pimpinan institusi penegak hukum menindak masing-masing anggotanya yang terlibat itu," katanya.
Hendro pun menekankan bahwa semua pihak mulai dari Pemkot Dumai, Lanal dan Polres Dumai, harus berangkat dari sportifitas, kejujuran, dan objektivitas, jika serius ingin memberantas pratik mafia pencurian CPO ini.
"Harus ada betul-betul kemauan kuat, bukan hanya pemerintah daerah saja juga termasuk TNI AL (unsur pusat), Polri (unsur pusat), Bea Cukai (unsur pusat). Artinya Forkompida Kota Dumai mempunyai hubungan vertikal, sedangkan Wali Kota Dumai memiliki keterbatasan," katanya.
Berdasarkan penuturan Rm (53), ia menyatakan kapok ikut terlibat sebagai "broker" atau calo dalam praktik mafia pencurian CPO. Ia dihukum bersalah dan menjalani satu tahun penjara. Rm tergiur menjadi calo CPO karena pendapatannya pada usaha sebelumnya sebagai pemasok logistik/ship chandler (penyedia jasa logistik) buat kapal asing sudah mulai menurun karena banyak pesaing.
"Saat itu saya bisa mendapat CPO hingga 2 ton, tapi setahun sebagai perantara CPO, saya ditangkap. Banyak yang saya lihat bahwa praktik mafia pencurian CPO di laut ini telah 'dilindungi' oleh oknum AL dan Polairud sehingga pencurian makin mulus beroperasi," katanya.
"Saya tidak mendapatkan keadilan hukum sebab saat ditangkap dan disidangkan saya justru dituduh sebagai penadah padahal penadah yang sebenarnya kini masih aktif beroperasi karena dilindungi oleh oknum aparat yang terlibat itu. Penadah yang memodali aksi pencurian termasuk uang keamanan bagi oknum aparat tersebut," katanya.
Rm menjelaskan biasanya kalau CPO yang didapat dalam jumlah kecil itu berasal dari sisa-sisa setelah bongkar yang telah beku di dalam kapal tongkang yang tidak memiliki alat pemanas. Beda kalau CPO curian dalam jumlah besar biasanya didapat dari kapal tanker yang masih dalam posisi labuh di perairan dan belum bongkar muatan di pelabuhan.
"Itu kalau dicuri dari mobil tanki sebagai alat angkutnya. Kalau dari kapal biasanya dicampur dengan air atau mereka punya cara sendiri untuk mengelabui pihak perusahaan yang menerimanya.
Dan kerugian tetap pada perusahaan kapal sebagai transporter. Pihak perusahaan sebagai penerima CPO hanya membayar berapa yang mereka terima di pelabuhan. (tum)