Riau.WahanaNews.co - Chairman Sinar Mas Agribusiness and Food Franky, Oesman Widjaja mengatakan, komoditas kelapa sawit adalah salah satu sumber daya alam terbesar di Indonesia.
Hal itu ia sampaikan dalam diskusi bertemakan “Fuels of the Future for Low Carbon Industri Solution” yang digelar Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Kemaritiman) bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia di Jakarta, Jumat (8/9/2023) lalu.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Franky memaparkan, komoditas sawit mampu menyediakan mata pencaharian bagi lebih dari 17 juta orang yang sebagian besar berada di pelosok pedesaan.
Selain itu, minyak kelapa sawit juga menjadi kontributor utama ekspor Indonesia pada 2022 dengan nilai sekitar 40 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Capaian tersebut, menurutnya, berasal dari karakteristik minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati paling produktif yang mampu menghasilkan lima hingga 10 kali lebih banyak per hektar perkebunan dibandingkan dengan minyak nabati lain yang ada.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Oleh karenanya, kata Franky, Sinar Mas berfokus pada pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dia optimistis, pengembangan bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit akan berdampak baik sebagai bahan bakar pesawat udara yang ramah lingkungan (sustainable aviation fuel).
“Dengan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan ini, kami berharap langit kita bisa menjadi biru kembali," ujar Franky dalam siaran persnya, dikutip Senin (11/9/2023).
Franky menambahkan, dengan luas 8 persen dari total lahan yang digunakan untuk memproduksi minyak nabati, komoditas sawit Indonesia dapat memasok 40 persen dari kebutuhan minyak nabati dunia saat ini.
Itu berarti, kelapa sawit berperan sebagai potensi biosolusi yang dimiliki Indonesia yang juga dapat menjadi jawaban bagi kebutuhan dunia akan bahan bakar nabati rendah karbon berkelanjutan.
Franky mengatakan, Indonesia telah mendekarbonisasi ekonomi melalui program B35.
Program tersebut merupakan kebijakan pencampuran bahan bakar nabati terbesar di dunia dengan target penyaluran hingga 13,15 juta kiloliter biodiesel pada 2023.
Hal itu belum termasuk potensi peningkatan lebih jauh serta memanfaatkan teknologi seperti dalam produk hydrotreated vegetable oil yang lebih efisien.
Pada kesempatan itu, sambutan baik dari industri penerbangan, Presiden Airbus Asia-Pacific Anand Stanley yang mengatakan bahwa Airbus sebagai perusahaan penerbangan ramah lingkungan berkomitmen mengurangi konsumsi bahan bakar sebesar 80 persen selama 50 tahun terakhir.
"Kami juga berkomitmen menekan jejak karbon, tak hanya dari hasil pembakaran bahan bakar di udara, tetapi juga seluruh siklus bahan bakar mulai saat diproduksi," tuturnya.
Anand mengatakan, tantangan yang dihadapi Airbus dan perusahaan penerbangan lain dalam mewujudkan penerbangan ramah lingkungan adalah suplai bahan bakar penerbangan ramah lingkungan yang masih sangat minim.
"Pada 2030, kami berharap seluruh penerbangan dapat 100 persen menggunakan bahan bakar ramah lingkungan," tegasnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Airbus berharap dapat bekerjasama dengan banyak stakeholder, khususnya di Asia-Pasifik.
Kerjasama itu pun diharapkan menjadi kesempatan untuk terus berinovasi mengembangan bahan bakar penerbangan ramah lingkungan dan mengatur kapasitas produksi agar dapat memenuhi kebutuhan.
Pada forum yang sama, CEO Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, pemenuhan bahan bakar rendah karbon membutuhkan pendekatan holistik yang meliputi pemerintah, pihak swasta, investor, hingga masyarakat.
“Kita tidak boleh menyerah meskipun ada harga yang tinggi untuk menciptakan bahan bakar rendah karbon,” katanya.
Nicke menilai, dengan pengembangan teknologi, ekosistem, regulasi, serta kesiapan masyarakat, semua pihak dapat mengurangi tantangan tersebut dalam 10 tahun mendatang.
[Redaktur: Mega Puspita]