RIAU.WAHANANEWS.CO, ROKAN HILIR — Masjid Agung Al-Muhajirin, ikon kebanggaan masyarakat Kecamatan Simpang Kanan, Rokan Hilir, diselimuti asap hitam pekat dan debu halus. Warga menduga pencemaran tersebut berasal dari aktivitas PT SKL, perusahaan pengolahan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar permukiman.
Asap dan abu menempel di lantai masjid, pelataran, hingga rumah warga. Kondisi ini menimbulkan keresahan karena selain mengganggu kenyamanan beribadah, juga diduga mengancam kesehatan. Beberapa anak dilaporkan mengalami batuk dan sesak napas, sementara sumber air bersih warga ikut terindikasi tercemar.
Baca Juga:
Doa Bersama dan Santunan Anak Yatim di Polsek Kubu
“Bayangkan, masjid tempat kami beribadah pun jadi hitam. Apa ini bukan bentuk pencemaran terhadap lingkungan dan kehidupan warga?” ujar salah seorang tokoh masyarakat.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Rokan Hilir telah mengambil sampel udara dan air di kawasan terdampak. Hasil sementara menunjukkan adanya indikasi pencemaran serius. DLH bahkan menyarankan agar kawasan sekitar perusahaan dimasukkan ke dalam kategori Ring 1 Terdampak.
Namun, upaya mediasi antara warga dan pihak perusahaan disebut tidak berjalan baik. Warga mengaku justru mendapat intimidasi melalui kehadiran aparat kepolisian saat menyampaikan aspirasi.
Baca Juga:
Calon Peserta Lomba Renang Bupati Rokan Hilir Cup 2025 Intensif Latihan di The Hill Park Bagan Batu
“Kami bukan penjahat. Kami hanya menuntut lingkungan yang sehat. Kehadiran polisi dalam mediasi justru membuat warga takut bersuara,” tegas perwakilan masyarakat.
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat, Camat Simpang Kanan, Azhari, saat dikonfirmasi Wahana News melalui pesan WhatsApp, Senin (8/9/2025), membenarkan kondisi memprihatinkan tersebut.
“Memang benar, asap dan abu dari aktivitas perusahaan sangat dirasakan warga, bahkan hingga ke Masjid Al-Muhajirin. Itulah yang bikin pusing awak. Kami berharap persoalan ini segera ditangani serius oleh pihak terkait,” ujarnya.
Ironisnya, ketika ditanya mengenai izin usaha dan dokumen persetujuan warga (persetujuan lingkungan), pihak perusahaan disebut tidak dapat menunjukkannya. Warga yang telah bermukim lebih dari 40 tahun menegaskan tidak pernah memberikan persetujuan atas pembangunan pabrik kelapa sawit di tengah permukiman.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), setiap orang dilarang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan (Pasal 69 ayat (1)). Pelanggaran dapat dikenakan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 98 hingga Pasal 104.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah sebagian ketentuan dalam UU PPLH, menegaskan bahwa perusahaan wajib memiliki izin lingkungan berbasis persetujuan lingkungan. Jika terbukti tidak memiliki izin, usaha dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin operasional.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT SKL belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pencemaran maupun keabsahan izin usaha.
Redaktur: Sah Siandi Lubis