Green hydrogen diyakini bisa dikembangkan berdampingan dengan potensi panas bumi karena cadangannya juga d sekitar cadangan panas bumi. Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi besar tentu memiliki keuntungan besar.
"Ke depan, green hydrogen tidak hanya diminati dari dalam tapi juga dari luar negeri,” katanya.
Baca Juga:
Sepanjang 2024, Co-Firing Biomassa di PLTU PLN Hasilkan 1,67 Juta MWh Listrik Hijau
Hingga saat ini, PGE berada di peringkat pertama dalam pengelolaan panas bumi nasional dengan kapasitas terpasang 1.887 megawatt (MW). Sebesar 1.205 MW dikelola bersama mitra dan 672 MW dioperasikan sendiri oleh PGE.
Dalam RUPTL pengembangan panas bumi diharapkan mampu mencapai 5.444,5 MW pada tahun 2030 dengan rincian kapasitas terpasang PLN 1.077,5 MW dan IPP sebesar 4.367 MW.
Dalam 10 tahun ke depan, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang energi bersih yang bersumber dari panas bumi hingga dua kali lipat lebih dari yang saat ini dioperasikan sendiri oleh PGE.
Baca Juga:
Tarif Listrik Februari 2025 Tetap, Cek Daftarnya di Sini!
Pada 2030, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.540 MW. “Ini artinya di tahun 2030 PGE berpotensi untuk bisa memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi di dunia,” kata Yuniarto.
Sementara itu, Hendra Yu Tonsa Tondang, Vice President Geothermal PT PLN (Persero), mengungkapkan masalah krusial dalam pengembangan panas bumi adalah adanya gap tarif listrik dan keekonomian proyek. Hal itu sangat menentukan untuk kelangsungan panas bumi.
Menurut dia, ada beberapa instrumen untuk mengisi atau menutup gap tersebut, antara lain penerapan carbon tax, menurunkan biaya pokok produksi listrik di Indonesia Timur, insentif belanja modal, government drilling, green/clean energy fund dan penerapan teknologi yang tepat sehingga bisa meningkat success ratio proyek.