RIAU.WAHANANEWS.CO, Indragiri Hulu —
Program Indonesia Pintar (PIP) yang sejatinya menjadi penopang harapan siswa dari keluarga kurang mampu, justru diduga berubah menjadi beban baru bagi peserta didik di Madrasah Aliyah (MA) Swasta Miftahul Jannah, Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, provinsi Riau.
Baca Juga:
Sampah Menggunung di MTs Miftahul Jannah Peranap, Tanggung Jawab Kepsek Dipertanyakan
Alih-alih diterima utuh oleh siswa, dana bantuan pendidikan sebesar Rp1,8 juta per siswa diduga dipangkas hingga lebih dari 75 persen, bahkan disebut mencapai 90 persen, dengan dalih pembayaran SPP, LKS, dan biaya ujian.
Ironisnya, kebijakan tersebut dilakukan di tengah kondisi ekonomi keluarga siswa yang justru menjadi alasan utama mereka ditetapkan sebagai penerima PIP.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Dahlia, membenarkan bahwa dana PIP yang telah dicairkan memang dikumpulkan sementara oleh pihak sekolah.
Baca Juga:
Dilaporkan Kades Gegara Bansos, Warga Semelinang Tebing Mengaku Diintimidasi Aparat Desa
"Jumlah siswa di sekolah ini 118 orang. Besaran SPP Rp100 ribu per bulan. Khusus kelas XII ditambah Rp30 ribu sebagai tabungan ujian,” jelasnya, Kamis (18/12/2025).
Menurut Dahlia, dari 45 siswa penerima PIP, dana tersebut dialokasikan untuk membayar SPP siswa, bahkan sebagian akan digunakan membantu siswa lain yang tidak menerima PIP namun dianggap kurang mampu.
Pernyataan ini justru menimbulkan pertanyaan serius: atas dasar regulasi apa sekolah mengambil alih pengelolaan dana bantuan yang seharusnya menjadi hak penuh siswa?
Praktik tersebut bertolak belakang dengan Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2022, yang secara tegas menyatakan:
- Dana PIP tidak boleh dipotong
- Dana PIP bukan untuk membayar SPP, LKS, maupun biaya ujian
- Sekolah dilarang mengelola atau menahan dana PIP
Namun fakta di lapangan berkata lain. Seorang siswa penerima PIP mengungkapkan kekecewaannya. Dari dana Rp1,8 juta yang cair, mereka hanya menerima Rp373 ribu.
“Dana dipotong untuk SPP Januari–Juni 2026 sebesar Rp780 ribu, LKS Rp170 ribu, dan ujian akhir Rp477 ribu. Sisanya cuma Rp373 ribu,” ujar siswa tersebut, Sabtu (20/12/2025).
Lebih menyedihkan lagi, siswa mengaku sudah rutin menyicil uang ujian Rp30 ribu per bulan, namun dana PIP tetap dipotong kembali untuk biaya ujian akhir.
“Kami sudah bayar cicilan ujian tiap bulan, tapi tetap dipotong lagi dari PIP,” katanya dengan nada sedih.
Saat dikonfirmasi, Dela, selaku Kasi Kurikulum sekolah, justru menyampaikan pernyataan berbeda.
"Dana yang kami berikan kepada masing-masing siswa penerima sebesar Rp1,8 juta,” ujarnya.
Namun ketika awak media mempertegas apakah terdapat pemotongan dana tersebut, sambungan telepon mendadak terputus.
“Halo… maaf pak, sinyal sulit,” ucap Dela singkat sebelum komunikasi berakhir.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Sekolah MA Swasta Miftahul Jannah belum memberikan klarifikasi resmi. Padahal, kebijakan pemanfaatan dana PIP ini menyentuh langsung aspek keadilan, empati, dan keberpihakan terhadap siswa miskin.
Memungut biaya LKS dan ujian dari dana bantuan sosial negara bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyangkut nurani pendidikan. Ketika siswa miskin dipaksa “membayar” haknya sendiri, maka esensi PIP sebagai jaring pengaman pendidikan patut dipertanyakan.
Kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, serta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Jika dibiarkan, praktik serupa berpotensi menjadi preseden buruk dan merampas hak ribuan siswa tidak mampu di daerah lain.
Media ini akan terus berupaya mengonfirmasi pihak kepala sekolah dan instansi terkait guna memenuhi prinsip keberimbangan dan hak jawab sesuai Kode Etik Jurnalistik.
[Redaktur: Adi Riswanto]