Riau.WahanaNews.co - Kebijakan Brussels dianggap sebagai langkah proteksionisme oleh kedua produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia dan Malaysia. Kini kedua negara giat mencari pasar lain untuk menampung ekspor minyak sawitnya.
Upaya tersebut membuahkan kesepakatan bisnis senilai USD 3,9 miliar antara Malaysia dan China yang ditandatangani bulan ini dalam KTT Expo China-ASEAN.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Termasuk di antaranya adalah perjanjian antara perusahaan pelat merah, Sime Darby Oils International dari Malaysia dan GuangXi Beibu Gulf International Port Group.
Kedua perusahaan berniat membangun pusat distribusi minyak sawit di kota Qinzhou, China, menurut laporan media Jepang, Nikkei Asia.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan pihaknya ingin menggandakan nilai ekspor minyak sawit ke China menjadi 500.000 ton per tahun dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
"Ini adalah kali pertama China meminta penambahan besar. Biasanya, permintaan bergantung pada harga dan pertimbangan lain, tapi kali ini perjanjiannya menjamin kuota impor menuju China," kata Anwar Ibrahim, dikutip Jumat (29/9/2023).
"Jika niat UE merangsang perbaikan tata kelola sawit dengan membuat larangan bahan bakar nabati, upaya tersebut bisa mudah dijinakkan oleh China," kata Bridget Welsh dari lembaga penelitian Asia Research Institute di University of Nottingham, Inggris.
Alhasil, negara-negara Asia Tenggara tidak hanya semakin bergantung kepada China, tapi juga menutup akses pasar Uni Eropa serta menciptakan kondisi yang justru memudahkan ekspor menuju China.