RIAU.WAHANANEWS.CO, PEKANBARU – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau memanggil empat orang saksi dalam rangka penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH).
Pemanggilan dilakukan melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Riau, Fauzi Marasabessy. Keempat orang tersebut dijadwalkan hadir pada Selasa, 8 Juli 2025, di Kantor Kejati Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru.
Baca Juga:
Peringati 10 Muharram, Pemdes Bagan Sapta Permai dan Masyarakat Gelar Kegiatan Santunan Anak Yatim
Mereka yang dipanggil diantaranya ialah. Zulkifli, Penasehat Hukum PT SPRH. Mahendra Fakhri, Direktur Keuangan PT SPRH. Herman, Direktur utama PT SPRH. Sundari, Bendahara PT SPRH.
Keempatnya akan dimintai keterangan dalam kapasitas sebagai saksi terkait dugaan korupsi dalam penyertaan modal Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir kepada PT SPRH, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2023 hingga 2024.
Penyidik menjadwalkan pemeriksaan berlangsung mulai pukul 09.00 WIB hingga selesai. Dalam surat panggilan, para saksi diminta membawa dokumen yang relevan dan hadir tepat waktu.
Baca Juga:
Peringati 10 Muharram, Pemdes Bagan Sapta Permai dan Masyarakat Gelar Kegiatan Santunan Anak Yatim
Kejati Riau menyampaikan bahwa proses pemanggilan ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Menanggapi hal ini, salah satu tokoh masyarakat di Rokan Hilir, Parlaungan, menyebutkan, pentingnya keterbukaan informasi kepada publik dalam setiap tahap proses hukum yang melibatkan dana anggaran pemerintah.
“Kami masyarakat mendesak agar proses hukum ini tidak hanya formalitas belaka. Ada dana rakyat yang digunakan, dan harus dipastikan pertanggungjawabannya. Kami juga meminta Kejati Riau tidak ragu menindak tegas siapapun yang terbukti menyalahgunakan kewenangan, tanpa pandang bulu,” ujarnya kepada Wahana News, Minggu (6/7/25).
Lebih lanjut, Parlaungan juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap BUMD yang menerima penyertaan modal dari pemerintah daerah.
“Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak. Jangan sampai BUMD dijadikan kendaraan kepentingan segelintir orang, sementara rakyat tidak merasakan manfaatnya sama sekali,” tegasnya.
Redaktur: Sah Siandi Lubis