RIAU.WAHANANEWS.co, Rokan Hilir – Sengketa terkait jual beli lahan seluas 460 hektare di Desa/Kepenghuluan Sungai Pinang, Kecamatan Kubu Babussalam, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, kembali mencuat ke permukaan. Permasalahan ini muncul setelah seorang pekerja proyek infrastruktur jalan, Kusumonyoko Sinaga, mengungkapkan bahwa upah kerjanya sejak 2020 belum juga dilunasi.
Lahan yang menjadi objek sengketa diketahui berada dalam pengelolaan atau penguasaan eks Direktur Utama PTPN IX, Wisnu Prasodjo. Ia sebelumnya memberikan kuasa pengelolaan dan transaksi jual beli kepada Elman Simangunsong melalui perantara bernama Hariyanto.
Baca Juga:
HAM,?: Diduga Curi Sawit, Seorang Pria Diarak Warga di Rokan Hilir
Namun, berdasarkan informasi yang diterima Wahana News pada Senin (21/4/2025), kuasa tersebut kemudian dialihkan secara tertulis kepada Cornelius Tarigan melalui sebuah perjanjian yang turut oleh ditandatangani Hariyanto, Elman, dan Cornelius.
Dalam perjanjian tersebut, juga dicantumkan kesepakatan mengenai pembayaran semua biaya pembangunan infrastruktur jalan yang telah didahulukan oleh Elman Simangunsong di atas lahan dimaksud, dengan Kusumonyoko Sinaga sebagai pelaksana pekerjaan. Namun, sejak dialihkannya kuasa kepada Cornelius, seluruh kewenangan terkait pembayaran turut dipindahkan secara sepihak tanpa koordinasi dengan Elman Simangunsong.
[Dokumentasi saat pelaksanaan Pengerjaan]
Baca Juga:
PJ Penghulu Bahtera Makmur Gelar Pertemuan Bahas Kemajuan Desa
“Sejak 2020, tidak ada pelunasan atas biaya pembangunan jalan. Saya hanya menerima uang muka sebesar Rp5 juta dari total nilai kontrak sebesar Rp250 juta pada 3 Oktober 2024, sebagaimana tercantum dalam perjanjian dengan Cornelius Tarigan atas instruksi dari Wisnu,” ujar Kusumonyoko kepada Wahana News.
Menurutnya, pihak Cornelius juga menjanjikan pembayaran cicilan lanjutan sebesar Rp125 juta pada Januari 2025. Namun, hingga berita ini disusun, janji tersebut belum direalisasikan oleh pihak terkait, baik Wisnu maupun Cornelius Tarigan.
Situasi ini dinilai berpotensi melanggar ketentuan hukum positif di Indonesia, khususnya yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang mengatur syarat sahnya perjanjian serta prinsip pacta sunt servanda, yakni bahwa setiap perjanjian mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak.