Riau.WahanaNews.co | Mungkin tidak banyak orang yang mengenal perusahaan ini. Namanya PT Rekayasa Industri yang biasa disingkat Rekind. Perusahaan ini didirikan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1981 dan menjadi satu-satunya perusahaan EPC (Engineering, Procurement & Construction) di bidang industrial plant yang dimiliki oleh Indonesia.
Berbeda dengan perusahaan BUMN Karya yang fokus pada konstruksi dan infrastruktur, Rekind boleh dikatakan adalah otak negara dalam membangun puluhan bahkan ratusan proyek-proyek industri berskala raksasa yang tadinya hanya mampu dijalankan oleh kontraktor industri asing.
Baca Juga:
Sambut Masa Tenang Pilkada Jakarta, KPU Jakbar Gelar Panggung Hiburan Rakyat
Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) kilang gas Jambaran Tiung Biru, fasilitas gas Donggi di Sulawesi, proyek peningkatan produksi kilang RDMP Balikpapan yang saat ini termasuk PSN terbesar migas adalah contoh proyek yang sukses dirancang dan dibangun oleh Rekind.
Demikian pula PLTP Kamojang 5, PLTP Ulubelu 3 & 4, PLTP Lahendong 5 & 6, dan PLTP Muara Laboh, serta PLTU Riau, PLTU Sumatera Barat, PLTU Suralaya, PLTU Tonasa, PLTU Pusri dan PLTU Lombok. Rekind juga sudah membangun banyak fasilitas migas lepas pantai. Di antaranya Pipa Bawah Laut (Selat Sunda, Selat Madura, Balongan, Bojonegoro dan Cengkareng), Penambat Kapal Tanker Lepas Pantai (di Balongan, Bojonegoro dan Cengkareng), LNG Floating Storage & Regasification Unit (Lampung).
Ini bukan semata soal berapa besar penghematan yang bisa dilakukan negara dengan menyerahkan proyek-proyek strategis tersebut ke tangan perusahaan anak bangsa, tetapi proses pengembangan kapabilitas perusahaan untuk menangani proyek-proyek strategis nasional.
Baca Juga:
Sekjen GEKIRA Partai Gerindra: Pemilukada Damai Bukti Rakyat Cerdas
Pada gilirannya jelas akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap EPC asing di masa mendatang. Sebelum berdirinya Rekind, di era tahun 1980-an itu, semua proyek pembangunan industrial plant jadi bancakan para kontraktor asing.
Harga tidak bisa dikendalikan karena Indonesia belum punya counterpart yang memahami jerohan teknologi yang diterapkan dalam skala produksi komersial.
Jadi bisa dipahami bahwa Indonesia memang sangat membutuhkan satu perusahaan EPC yang mampu bersaing dengan para raksasa EPC dunia.