WahanaNews.co I Caligula, seorang raja Romawi yang memerintah tahun 37 s/d 41 Masehi.
Masa pemerintahannya dianggap masa yang paling kelam dalam sejarah Roma. Dia dimuluskan jalannya untuk berkuasa oleh Macro. Macro adalah seorang pengawal raja Tiberius yang membunuh rajaTiberius yang sedang sakit dengan bantal, agar segera mati dan posisinya bisa digantikan oleh sahabat dekatnya Pangeran Caligula.
Baca Juga:
Viral, Anak Indonesia Bertanya kepada Paus: Jika Anda Bisa Lakukan Keajaiban, Apa yang Anda Lakukan?
Macro adalah sahabat Caligula. Bahkan, sedemikian akrabnya mereka, istri Macro, Ennia, juga menjadi pacar Caligula. Mungkin Juga Macro yang gagah juga merangkap jadi pacar Caligula.
Caligula, yang tinggi dan tampan/cantik, juga anak Jendral Germanicus yang dicintai rakyat segera diterima dengan senang hati oleh rakyat. Saat dinobatkan usianya baru 25 tahun.
Tetapi kenyataan yang mendera kemudian sungguh membuat seluruh negeri tercekam dalam teror dan kekejian. Disaat awal kekuasaaannya, banyak jendralnya yang dihabisi karena diragukan kesetiaanya. Mertuanya sendiri, kakaknya, dan banyak pejabat yang lain dihukum mati. Tuduhannya semua hampir sama, yaitu; “berkhianat” dan berencana mengambil kekuasaan.
Baca Juga:
Ternyata Ini Sejarah Kenapa Tahun Baru Dimulai dari Bulan Januari
Yang lebih membuat orang heran adalah dibunuhnya Macro. Dia harus mati karena Caligula menganggap bahwa kalau Macro bisa menaikkan dirinya, maka dia juga yang bisa mengambil kekuasaan darinya. Istri Macro, Ennia, juga dibunuh karena dianggap tahu terlalu banyak.
Bagi penguasa seperti ini, semua layak dikorbankan demi kekuasaan. Mertua, sahabat, orang-tua, istri, anak, semuanya layak dikorbankan. Semua bisa dicari selama kekuasaan masih ditangan. Kekuasaan bisa mendatangkan segala macam sahabat dan hamba.
Dalam situasi seperti ini, fitnah menjadi senjata andalan yang ampuh. Kalau ada orang memfitnah orang lain akan mengambil kekuasaan, maka siterfitnah akan dihukum tanpa perlu lewat proses pengadilan. Yang terbanyak menjadi korban justru kaum professional yang menjadi tulang punggung negara, seperti para insinyur, pedagang, pejabat negara yang baik, para jendral yang bekerja dengan tulus. Mereka, meskipun ahli dibidangnya, tetapi umumnya sangat naif dalam intrik politik.
Keadaan ini sangat berbahaya bagi seluruh negeri dan tanpa disadari juga memperlemah kekuatan raja sendiri. Dalam tempo singkat dia akan kehilangan sumber kekuatannya dan dikelilingi oleh para penjilat yang kelihatannya hebat, tetapi tidak mempunyai kemampuan apa-apa kecuali fitnah. Mereka hidup dengan menjadi parasit bagi penguasa.
Sebenarnya, sering para jenderal berencana menggulingkan Kaisar gila Caligula, demikian juga para senat, tetapi semua gagal. Setiap kali terjadi kegagalan, pasti diikuti dengan gelombang pembunuhan politik sebagai usaha pembersihan. “Semua kegagalan terjadi karena hal yang sama, yaitu adanya pengkhianat yang melaporkan pada raja dan mengharapkan imbalan”.
Penghianat ini biasanya mendapat hadiah dan kedudukan terhormat, tetapi itu semua tidak bertahan lama dan semua nasibnya sama, yaitu; dibunuh lagi oleh Caligula karena dianggap sudah tidak ada gunanya lagi, atau difitnah oleh orang lain bahwa dia sudah ingin berkhianat.
Caligula tidak peduli dengan semua itu. Dia berkeyakinan: "Biarlah mereka membenci diriku, selama mereka takut dengan ku".
Bagaimanapun durjana kelakuan raja, tetapi dimata rakyatnya dia masih tetap dicitrakan sebagai seorang yang baik, penuh kasih sayang dan perhatian kepada rakyatnya, dia adalah titisan dewa dan semua mitos dan penyesatan informasi yang lain.
Mengapa bisa begitu?
Jawabannya sederhana, modus yang sama juga terus terjadi sepanjang zaman. Selalu saja ada para parasit yang sudah menikmati ketidak adilan. Mereka membentuk lingkaran yang mengelilingi raja, mereka memanfaatkan kedekatan dengan raja untuk diri mereka sendiri.
Mereka bergelimang harta dan ingin terus mempertahankan kedudukannya. Padahal setiap saat, kehidupan yang mewah ini, bisa lepas dan nyawa mereka melayang. Mereka bagaikan hidup tinggal disarang ular, semuanya menari dan meliuk-liuk terlihat indah, tetapi pagutannya berbisa dan mematikan.
Mungkin lebih aman berada disekitar harimau yang mengaum dari pada tarian ular berbisa. Tidak ada ketenteraman. Semua harus selalu waspada, satu-sama lain sesama mereka saling mengintip dan cemburu. Bagi mereka yg berfikiran bebas, sungguh sangat melelahkan berada dilingkungan seperti itu.
Akhirnya, ketika Caligula melewati terowongan dengan pengawalan yang sangat ketat, salah seorang komandannya, “Cassius Chaerea” mencabut pedang dan menebas sang raja. Meskipun tebasannya hanya mengenai pundak kanan di pangkal leher dan tidak langsung membunuh sang raja, tetapi tindakan ini, dengan tanpa komando segera diikuti oleh para pengawal yang lain untuk menyelesaikan pembunuhan dengan mencincang sang raja.
Itu semua terjadi secara spontan, tanpa komando.
Setelah itu, para pengawal mencari Claudilus, paman Caligula yang gemuk, agak bodoh, dan terlihat idiot dan sama sekali tidak tampan untuk diangkat menjadi raja. Mereka mengangkat Claudius karena mengharapkan Claudius hanya sebagai simbol dan tidak berbahaya bagi negara. Sungguh sebuah kebetulan, orang yang awalnya dianggap sebagai idot yang plonga-plongo, ternyata justru menjadi raja yang sangat cakap yang bisa menghadirkan kemakmuran bagi Roma.
Cassius Chaerea, tanpa rencana, hanya bermodal keberanian untuk bertindak mampu menyelamatkan Roma. Seperti biasanya dalam sejarah, satu orang yang berani dan mau bertindak mampu membelokkan jalannya sejarah dan menyelamatkan seluruh bangsa.
Sayangnya manusia tidak pernah belajar dari sejarah!
Pelajaran paling penting dari sejarah adalah: “Manusia tidak pernah belajar dari sejarah.”
Cerita seperti ini perlu diketahui dan diteruskan pada generasi mendatang sebagai “immunisasi” terhadap munculnya tirani atau diktator sejenis: Hitler, Yoseph Stalin, Polpot dan lain-lain manusia durjana yang menteror rakyatnya sendiri.
Hitler diketahui gila sebelum berkuasa, tetapi oleh Joseph Goebels, dia dicitrakan sebagai seorang yang jenius. Goebels sebagai propagandis Hitler terus menerus mengkampanye kan kejeniusan Hitler, dia berkeyakinan: *"Kebohongan yang terus diulang-ulang, akhirnya terlihat sebagai sebuah kebenaran."*
Anehnya saat ini, ada sebagian anak bangsa yang masih ingin membangun kerajaan, atau apapun namanya.
Sungguh ide yang sangat berbahaya menyerahkan keselamatan seluruh bangsa ketangan satu orang yang dengan sangat cepat akan dikerubutin para penjilat dan dijauhkan dari rakyat. Penguasa yang gila, biasanya akan ditutup-tutupi oleh orang-orang sekitarnya.
Menyerahkan kepemimpinan kepada satu orang, siapapun dia seperti bermain “Russian Roulette” denga lima peluru terisi dan satu yag kosong. Jauh lebih banyak kemungkinan mudaratnya dari manfaatnya.
Kita tetap ingin NKRI yang demokrasi dimana presiden dipilih setiap lima tahun dan kekuasaanya dibatasi dan diawasi. (tum)
Artikel ini diambil dari tulisan di Facebook Mustafa Husin Baabad