RIAU.WAHANANEWS.CO, Rokan Hilir — Situasi perikanan di perairan Kabupaten Rokan Hilir semakin memanas. Para nelayan tradisional Desa Raja Bejamu meminta Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan menterinya turun langsung ke lapangan, menyusul aktivitas kapal pukat harimau yang semakin meresahkan.
Kemarahan nelayan memuncak setelah owner kapal pukat harimau KM KAKAKTUA JAYA I, diduga keras memasuki wilayah tangkap nelayan kecil dan menggunakan alat tangkap ilegal. Ironisnya, setelah kasus itu selesai secara damai, owner melalui manajer kapal malah melaporkan para nelayan ke Polairud Polda Riau.
Baca Juga:
Reses Anggota DPRD Rohil Fazrul Hidayat Lubis, Serap Aspirasi Warga Dapil IV
Pada 13 November 2025, nelayan melihat enam kapal pukat harimau yang diduga milik Toni beroperasi hanya 9–12 mil dari garis pantai, area yang menjadi zona tangkap nelayan kecil. Kapal berukuran GT 60–100 itu memakai pukat hela berkantong, alat tangkap yang sudah dilarang total secara nasional karena merusak ekosistem laut.
Esok harinya, sekitar 40 nelayan bersama awak media dan Wakil Ketua I Pemuda Pancasila Rohil, Riasetiawan Nasution, mendatangi kapal tersebut secara damai. Tidak ada kekerasan, ancaman, maupun pemaksaan.
Dalam komunikasi via telepon antara kapten kapal Rusman dan owner Toni, yang disaksikan dan direkam dalam proses mediasi oleh Riasetiawan Nasution, Toni mengakui kapalnya masuk wilayah Rohil tanpa izin. Toni juga meminta penyelesaian secara damai dan menyetujui membuat surat pernyataan bermaterai serta memberikan uang kompensasi Rp60 juta, atas inisiatif pribadinya tanpa tekanan.
Baca Juga:
Diduga Minim Sosialisasi, Petani Sungai Panji Panji Tanggung Biaya Penjetoran Meski Sudah Dibiayai Pemerintah
Beberapa hari kemudian, Toni justru membuat laporan ke Polairud dengan tuduhan pemerasan dan pengancaman terhadap para nelayan. pada tanggal 28 November 2025 Polairud undang nelayan untuk hadir ke poldaairud pekan baru dan akhirnya mendatangi rumah para nelayan raja bejamu pada tanggal 4 desember 2025 meminta klaripikasi. "Ya benar bang kami di datangi Polisi Air, takut kami bang, kok jadi kami pulak nanti yang di tangkap ucap nelayan raja bejamu." Sikap ini dinilai sebagai tindakan memutarbalikkan fakta dan upaya kriminalisasi nelayan.
Tindakan kapal Toni bukan sekadar pelanggaran ringan, tetapi diduga merupakan pelanggaran berat terhadap berbagai aturan:
Permen KP 2/2015: Larangan mutlak pukat hela/pukat tarik
Permen KP 71/2016: Kapal besar dilarang masuk wilayah tangkap nelayan kecil
UU Perikanan No. 45/2009: Ancaman 6 tahun penjara + denda Rp20 miliar
UU Kelautan No. 32/2014: Larangan aktivitas perusak ekosistem laut
“Kami menjaga laut kami dari kehancuran, tapi malah kami yang diseret. Ini penghinaan bagi nelayan,” tegas Ramces Sitorus, mewakili nelayan Raja Bejamu.
Kuasa hukum nelayan, Andreas Hutajulu, SH, MH, didampingi Riasetiawan Nasution selaku Dirut Media Bin-ri.id dan Wakil Ketua I MPC Pemuda Pancasila Rohil, menyatakan siap melakukan langkah hukum tegas.
“Kami sudah siapkan bantahan resmi, laporan balik, dan seluruh bukti. Fakta tidak bisa dimanipulasi. Hukum harus ditegakkan,” tegas Andreas.
Nelayan mendesak Pemkab dan DPRD Rohil untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat pesisir dan memastikan kapal-kapal ilegal tidak lagi merusak perairan daerah.
“Kalau pukat harimau dibiarkan, habis laut kami. Jangan kami menjadi korban dua kali,” ujar perwakilan nelayan.
[Redaktur: Adi Riswanto]